Prabowo-Sandiaga menggugat hasil Pemilu 2019 dengan memberikan kuasa ke Bambang Widjadjanto (BW) dkk. Dalam gugatannya itu, BW mengutip disertasi Refly Harun.
Dalam disertasinya, Refly Harun menyimpulkan sama sekali tidak ada niat dari para perumus perubahan UUD 1945 yang membatasi kewenangan MK berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu hanya pada perselisihan penghitungan suara yang mempengaruhi hasil pemilu.
“Harus dimaknai dalam kerangka menjaga konstitusi. Dalam konteks pemilu, yang harus dijaga adalah pemilu konstitusional, yaitu pemilu yang dilandasi nilai-nilai yang tercantum dalam UUD 1945,” demikian bunyi disertasi Refly Harun yang dikutip dan dibacakan oleh Denny Indrayana di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat, (14/6/2019).
Tulisan Refly juga dikutip dari link berita ‘Sesat Hitung Ambang Batas Pilkada’. Kutipan aslinya:
Dalam pandangan penulis, dibandingkan mempersempit cara penentuan selisih suara melalui Peraturan MK No 5/2015, mengenyampingkan Pasal 158 UU No. 8/2015 untuk kasus-kasus tertentu yang yang signifikan mempengaruhi hasil pilkada jauh lebih bijak. Misalnya kasus-kasus tidak terpenuhinya persyaratan pencalonan yang baru diketahui belakangan atau terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif.
Sikap ini, selain konsisten dengan putusan-putusan MK selama ini yang lebih mengedepankan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural, juga tidak menghapuskan peran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardiant of the constitution) dalam setiap kasus yang ditangani. Dalam konteks pilkada, MK harus betul-betul menjaga moral konstitusi bahwa pilkada harus dilakukan secara demokratis (Pasal 18 ayat [4] UUD 1945) serta jujur dan adil (Pasal 22E ayat [1] UUD 1945).
Sebagai penjaga konstitusi, selama ini MK menolak menjadi “mahkamah kalkulator”, yang mengadili sengketa pilkada hanya didasarkan pada hitungan-hitungan angka belaka, apalagi angka yang sudah dibatasi.