Hidup Itu Memberi Manfaat

0
1467

Kita pasti sudah sering mendengar kutipan sebuah hadits yang berbunyi “Khoirunnaas Anfa’uhum linnas”. Artinya, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling memberi manfaat kepada orang lain. Memahami pesan Nabi tersebut kita perlu merenung. Setidaknya ada dua sudut pandang yang bisa kita lihat. Pertama, Nabi hendak memberikan gelar atau predikat pada manusia berdasarkan amal-amalnya. Bahwa manusia itu dapat digolong-golongkan sesuai derajat kontribusinya dalam memberi manfaat kepada orang lain.

Jadi ada orang yang paling baik, yaitu yang paling memberi manfaat kepada sebanyak mungkin orang lain. Jika ia memiliki banyak harta, maka ia tak lupa berzakat. Ia juga gemar dalam berinfaq sedekah. Jika ia memiliki kecerdasan dan wawasan luas, maka ia kontribusikan untuk kepentingan ummat. Jika ia punya rumah besar, maka rumahnya dengan senang hati ia jadikan tempat berkumpulnya majelis taklim, majelis zikir maupun untuk pertemuan yang membahas kepentingan ummat. Atau untuk mengayomi anak yatim.

Orang semacam ini, anehnya semakin banyak ia mengeluarkan yang dimilikinya untuk ummat, semakin banyak pula ia mendapat rezeki. Konon, kata para ulama manusia jenis ini adalah manusia ‘wajib’. Maksudnya, wajib adanya ditengah-tengah masyarakat. Hilangnya manusia ini dari peredaran akan berarti kesulitan bagi banyak orang lain. Tentu dikarenakan kebaikan budinya, kemurahhatiannya, kedermawanannya dan kebaikan lainnya.

Tipe kedua, yaitu orang yang baik dalam kadar yang biasa saja. Ia hanya akan berbuat baik bila ada kesempatan atau terpaksa. Kalau tipe pertama adalah orang yang senantiasa menciptakan kesempatan kebajikan, tipe kedua adalah orang yang berbuat kebajikan jika ada stimulusnya. Jika ia menduga ada manfaat dikemudian hari barulah ia berbuat kebaikan. Tipe kedua ini adalah kebanyakan dari kita. Inilah tipe manusia ‘sunnah’. Adanya orang ini baik, tidak adanya juga tidak akan mengganggu konstelasi masyarakat.

Manusia jenis ini harus banyak diberi nasehat, iming-iming, baru akan berbuat baik. Kadang harus dihadapkan pada situasi kondisi terpaksa agar ia mau berbuat kebaikan. Setidaknya ia akan merasa malu atau tidak enak pada seseorang jika tak menyambut kebaikan atau berpartisipasi pada sebuah acara amal. Biasanya jika ia adalah pejabat, ia berbuat baik karena tidak enak dengan gelar jabatannya itu. Jika tidak menyumbang ia akan segera dicap pelit. Jika tak hadir di rapat Rt/Rw ia akan mudah dibilang sombong. Jika makan di warung makan biasa, khawatir dicap tidak punya selera. Jika ia orang terpandang dan hanya menyumbang sedikit, rasanya tidak enak.

Tipe ketiga adalah orang ‘makruh’. Ia lebih cenderung kepada keburukan dan kerusakan ketimbang pembuat kebajikan dan pelestari. Tidak adanya orang ini lebih baik dari adanya. Jika ia diajak atau diseru kepada kebaikan amat sulitnya. Tapi bila menuju kepada sesuatu yang mubazir, sia-sia, hura-hura, kerusakan, amat cepat ia menyambutnya. Hatinya mudah terbujuk pada keburukan dan tidak merasa senang dengan sesuatu kebaikan. Jika diajak sholat ia malas, diminta berinfaq dia kikir, menuntut ilmu hanya jika merasa ada untungnya. Segala urusan hidupnya hanya berorientasi pada kesenangan. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu ia orang yang makruh. Tidak adanya orang macam ini akan terasa lebih baik daripada adanya. Manfaat yang dirasakan tak seberapa dibandingkan kerugian yang ia timbulkan bagi orang lain.

Model manusia ketiga ini bisa berwujud PNS yang mau menerima gaji tapi malas dan tak produktif. Ia juga bisa berupa karyawan yang tidak amanah, tidak disiplin dan boros. Kontribusinya amat sedikit bila dibandingkan kerugian yang ia timbulkan. Ia pun bisa berupa tukang parkir yang seenaknya sendiri, satpam yang cuek sekaligus sangar. Jika ia seorang pekerja restoran, wajahnya masam dan pelayanannya menyebalkan. Jika ia petugas terminal, ia hanya senang mengutip retribusi, banyak merokok, meludah sembarangan dan berlagak semacam raja terminal. Wah…masih banyak lagi rupanya.

Tipe yang paling buruk tentunya adalah manusia ‘haram’. Keseharian dan kehidupannya hanya berorientasi pada sesuatu keburukan. Bukan hanya menolak kebajikan tetapi justeru menjadi pelopor keburukan. Pikiran dan perbuatannya selalu berupa prakarsa pada kejahatan. Ia bukan hanya tidak mau sholat, tetapi juga mengajak orang lain untuk tidak sholat. Ia bukan hanya kikir alias pelit, tetapi juga ngompor-ngompri orang untuk tidak berzakat dan berinfaq. Bukan hanya korupsi, tapi harta anak yatimpun bila ada kesempatan akan diselewengkannya juga.

Tipikal orang ini banyak sekali bentuk ragamnya. Ia bisa berupa produsen narkoba, produsen minuman keras, bandar judi, pejabat bejat yang populer karena semena-mena, hakim yang korup, atau jaksa suap. Bisa juga anggota legislatif yang makan gaji buta dan keliru bikin undang-undang. Ia juga bisa berupa ABG yang mengedarkan secara bebas video porno adegannya sendiri. Sesekali ia juga bisa menjelma menjadi guru atau kepala sekolah yang cuma bisa membebani tugas, marah dan gemar memberi hukuman fisik pada anak muridnya sembari memeras para orang tua murid dengan dalih demi kemajuan pendidikan. Atau berupa artis yang kepalang tak punya malu vodeo pornonya beredar dan tak terbantahkan, tetapi cuma minta maaf sembari merilis iklan baru yang akan dibintanginya atau rencana terdekat konser musiknya. Daftar manusia ini masih banyak lagi. Tipe orang terakhir ini bukan hanya tidak memberi manfaat, justeru menyusahkan, menyesatkan, menipu dan gencar mencari pendukung.

Untuk manusia jenis pertama, kita semua menyukainya, senang berada didekatnya, bangga jika ia mengenal kita, tidak dibuat susah kita olehnya. Ia wajib adanya, namun sayang amat langka jumlahnya. Hadirnya amat dinanti dan perginya ia segera membuat seantero nagari kehilangan. Kebaikannya akan dikenang bahkan sampai tujuh turunan.

Kepada manusia jenis keempat, segera kita nyatakan perang padanya. Keberadaannya sungguh tak perlu di bumi ini. Jika ia datang hanya menimbulkan kecemasan, jika pergi segera datang ketentraman. Tibanya ia disini hanya berbuah duka dan perginya ia amat diharap-harapkan.

Jenis kedua dan ketiga? Cepat-cepatlah beristighfar dan bertaubat. Bersegeralah pada kebaikan karena kebaikan pasti mendatangkan manfaat kepada diri sendiri dan juga orang lain. Jadi jangan bingung, hidup itu (harus) memberi manfaat.

Penulis : Dwi Cahyadi Wibowo

Ketua Yayasan Masyarakat Baik

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here